Jumat, 12 Juni 2009

Penulisan Gelar Lulusan Perguruan Tinggi

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 178/U/2001
TENTANG
GELAR DAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI



MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,


Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan ketentuan Bab VII Peraturan Pemerintah
Nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, dipandang perlu
mengatur penetapan jenis gelar dan sebutan sesuai dengan kelom-
pok bidang ilmu;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan
Tinggi ( Lembaran Negara Nomor 3859);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 ten-
tang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen, sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001;
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001
Mengenai Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun 2001 ten-
tang Kedudukan Tugas, Fungsi, Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenang-
an, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL TENTANG GELAR SEBUTAN LULUSAN PERGURUAN TINGGI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Gelar akademik adalah gelar yang diberikan kepada lulusan perguruan tinggi
yang menyelenggarakan pendidikan akademik.
2. Sebutan profesional adalah sebutan yang diberikan kepada lulusan perguruan
tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesional.
3. Pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada penguasan
ilmu pengetahuan dan pengetahuan.
4. Pendidikan dan profesional adalah pendidikan yang diarahkan terutama pada
kesiapan penerapan keahlian tertentu.
5. Program studi adalah merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan akademik
dan/atau profesioal yang diselenggarakan atas dasar kurikulum yang disusun
oleh perguruan tinggi.
6. Menteri adalah Menteri Pendidikan Nasional.
7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Pasal 2
(1) Penetapan jenis gelar akademik dan sebutan profesional didasarkan atas
bidang keahlian.
(2) Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk gelar akademik
merupakan program studi.
(3) Bidang keahlian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk sebutan profesi-
onal merupakan program studi.

Pasal 3
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan kepada lulusan pergu-
ruan tinggi dicantumkan dalam ijazah.
(2) Dalam ijazah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan pula nama
program studi yang bersangkutan secara lengkap.

BAB II
GELAR AKADEMIK DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 4

(1) Yang berhak menggunakan gelar akademik adalah lulusan pendidikan akademik
dari Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.
(2) Yang berhak menggunakan sebutan profesional adalah lulusan pendidikan
profesional dari Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut atau Univer-
sitas.

Pasal 5
(1) Yang berhak memberikan gelar akademik adalah Sekolah Tinggi, Institut atau
Universitas yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Yang berhak memberikan sebutan profesional adalah Akademi, Politeknik,
Sekolah Tinggi, Institut atau Universitas.

BAB III
JENIS GELAR AKADEMIK

Pasal 6
Gelar akademik terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor.

Pasal 7
Penggunaan gelar akademik Sarjana dan Magister ditempatkan di belakang nama yang berhak atas gelar yang bersangkutan dengan mencantumkan huruf S., untuk Sarjana dan huruf M. untuk Magister disertai singkatan nama kelompok bidang keahlian.

Pasal 8
Penetapan jenis gelar dan sebutan serta singkatannya sesuai dengan kelompok bi-
dang ilmu dilakukan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi bersamaan dengan
pemberian ijin pembukaan program studi berdasarkan usul dari perguruan tinggi
yang bersangkutan sesuai dengna norma dan kepatutan akademik.

Pasal 9
Gelar akademik Doktor disingkat Dr. ditempatkan di depan nama yang berhak atas
gelar yang bersangkutan.

BAB IV
JENIS SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 10
Penggunaan sebutan profesional dalam bentuk singkatan ditempatkan di belakang
nama
yang berhak atas sebutan profesional yang bersangkutan.

Pasal 11
(1) Sebutan profesional lulusan Program Diploma terdiri atas :
a. Ahli Pratama untuk Program Diploma I disingkat A.P.
b. Ahli Muda untuk Program Diploma II disingkat A.Ma.
c. Ahli Madya untuk Program Diploma III disingkat A.Md.
d. Sarjana Sains Terapan untuk Program Diploma IV disingkat SST
(2) Singkatan sebutan profesional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditempat-
kan di belakang nama yang berhak atas sebutan tersebut.

BAB V
PENGGUNAAN GELAR AKADEMIK
DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 12
(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang digunakan oleh yang berhak
menerima adalah satu gelar akademik dan/atau sebutan profesional jenjang
tertinggi yang dimiliki oleh yang berhak.
(2) Gelar akademik dan sebutan profesional hanya digunakan atau dicantumkan
pada dokumen resmi yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan pekerjaan.

BAB VI
SYARAT PEMBERIAN GELAR AKADEMIK
DAN SEBUTAN PROFESIONAL

Pasal 13
Syarat pemberian gelar akademik dan sebutan profesional adalah :
1. Telah menyelesaikan semua kewajiban dan/atau tugas yang dibebankan dalam
mengikuti suatu program studi baik untuk pendidikan akademik maupun pendidik-
an profesional sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Telah menyelesaikan kewajiban administrasi dan keuangan berkenaan dengan
program studi yang diikuti sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Telah dinyatakan lulus dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidik-
an akademik dan/atau profesional.

BAB VII
GELAR DOKTOR KEHORMATAN

Pasal 14
Gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dapat diberikan kepada seseorang
yang telah berjasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan,
kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.

Pasal 15
(1) Syarat bagi calon penerima gelar Doktor kehormatan adalah :
1. memiliki gelar akademik sekurang-kurangnya Sarjana.
2. berjasa luar biasa dalam pengembangan suatu disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi, kebudayaan, kemasyarakatan dan/atau kemanusiaan.
(2) Syarat perguruan tinggi yang dapat memberikan gelar Doktor Kehormatan adalah
universitas dan institut yang memiliki wewenang menyelenggarakan Program
Pendidikan Doktor sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 16
(1) Pemberian gelar Doktor Kehormatan dapat diusulkan oleh senat fakultas dan
dikukuhkan oleh senat universitas/institut yang dimiliki wewenang.
(2) Pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilak-
sanakan sesuai dengan tatacara yang berlaku di universitas/institut yang
bersangkutan.
(3) Pemberian gelar Doktor Kehormatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dila-
porkan oleh Rektor kepada Menteri dengan disertai pertimbangan lengkap atas
karya atau jasa yang bersangkutan.

Pasal 17
Gelar Doktor kehormatan, disingkat Dr (H.C) ditempatkan di depan nama penerima
hak atas gelar tersebut dan hanya digunakan atau dicantumkan pada dokumen resmi
yang berkaitan dengan kegiatan akademik dan pekerjaan.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN

Pasal 18
Perguruan tinggi yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan per-
aturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan memberikan gelar
akademik, sebutan profesional dan/atau gelar doktor kehormatan.

Pasal 19

(1) Gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang diperoleh secara sah tidak
dapat dicabut atau ditiadakan oleh siapapun.

(2) Keabsahan perolehan gelar akademik dan/atau sebutan profesional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat ditinjau kembali karena alasan akademik.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur oleh
Direktur Jenderal.

Pasal 20

Penggunaan gelar akademik dan / atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan
Keputusan ini dikarenakan ancaman dipidana seperti dimaksud dalam Pasal 55 dan
Pasal 56 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 21

(1) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi
di luar negeri digunakan sesuai pola dan cara pemakaian yang berlaku di
negara yang bersangkutan dan tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau
diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau sebutan profesional sebagaimana
diatur dalam Keputusan ini.

(2) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi
di luar negeri perlu pengesahan dari Departemen Pendidikan Nasional.

(3) Gelar akademik dan sebutan profesional lulusan perguruan tinggi di Indonesia
tidak dibenarkan untuk disesuaikan dan/atau diterjemahkan menjadi gelar
akademik dan/atau diterjemahkan menjadi gelar akademik dan/atau sebutan
profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi di luar negeri;

Pasal 22

Sebutan profesional yang dapat diberikan oleh perguruan tinggi di lingkungan
Departemen Pertahanan ditetapkan dalam ketentuan tersendiri.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 23

(1) Gelar akademik dan sebutan profesional seperti diatur dalam keputusan ini
berlaku sejak ditetapkan.

(2) Gelar akademik dan sebutan profesional yang diberikan oleh perguruan tinggi
di dalam negeri sebelum Keputusan ini berlaku dapat tetap dipakai sebagaimana
adanya.

Pasal 24

Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 036/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi dinyatakan
tidak berlaku.

Pasal 25

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2001

MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL,
TTD
A.MALIK FAJAR

Kontroversi SKP: Pengganti Uji Kompetensi

SKP (satuan kredit partisipasi) IDI/PDGI, atau skor PKB/CME (pendidikan kedokteran berkelanjutan/continuous medical education) memang jadi hal kontroversial. Sejak dahulu, ada berbagai cara untuk mendapatkan SKP, dari mulai seminar, simposium, pelatihan, sampai menjawab kuis yang terdapat di jurnal-jurnal ilmiah. Tetapi sampai beberapa waktu lalu, tidak jelas apa fungsi/kegunaan dari SKP selain hanya dikumpulkan. Saat ini, SKP adalah hal yang ‘dikejar-kejar’ dokter/dokter gigi untuk mencapai angka tertentu, biarpun pengaturannya belum jelas. Selain itu, sekarang ini besaran SKP untuk suatu acara pun di tiap daerah berbeda, sehingga ada organisasi profesi di daerah yang melakukan ‘obral’, ada juga yang ‘pelit’. Ada hal aneh mengenai cara pengumpulan SKP yang kabarnya sedang disusun. Jika kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan PKB, misalnya dengan kegiatan profesional yang terdokumentasi seperti contohnya memeriksa sejumlah pasien, penyuluhan, atau terlibat dalam bakti sosial, atau sering disebut CPD (continuous professional development), menjadi suatu kegiatan yang menghasilkan SKP, maka standar untuk mendapatkan SKP menjadi kurang jelas.
Hal yang mendasari pengumpulan SKP oleh dokter/dokter gigi adalah pasal 28 & 51e UU no.29/2004 yang mewajibkan dokter/dokter gigi untuk terus menambah ilmu pengetahuan & mengikuti perkembangan ilmu kedokteran/kedokteran gigi (dalam bentuk PKB). Sesuai pasal 79c UU no.29/2004, sanksi terhadap pelanggaran pasal 51e adalah denda maksimal Rp 50 juta. Karena yang mengatur mengenai standar PKB dalam bentuk pengumpulan SKP itu organisasi profesi (IDI/PDGI) sesuai amanat pasal 28 (2) UU no.29/2004, seharusnya pengumpulan SKP adalah bukan untuk syarat registrasi ulang STR yang dikeluarkan KKI, karena SKP bukanlah pengganti sertifikat kompetensi yang seharusnya dihasilkan dari suatu uji kompetensi, tetapi seharusnya hanya sebagai salah satu syarat untuk mendapat rekomendasi dari organisasi profesi, yang jumlah minimalnya sebaiknya disesuaikan dengan keadaan & kebijakan di daerah masing-masing.
Dapat disimpulkan, uji kompetensi bagi dokter/dokter gigi dengan standar nasional & disesuaikan dengan perkembangan terbaru di dunia kedokteran/kedokteran gigi untuk mendapatkan sertifikat kompetensi dokter/dokter gigi sebagai salah satu syarat pembuatan & registrasi ulang STR seharusnya tetap diadakan untuk dokter/dokter gigi setiap 5 tahun sekali sesuai pasal 29 UU no.29/2004. Sudah saatnya pula, dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi, profesi dokter/dokter gigi memiliki lembaga sertifikasi profesi (LSP) tersendiri, lalu menyusun & menggunakan SNI (standar nasional Indonesia) untuk melakukan pengujian & menerbitkan berbagai sertifikasi di bidang kedokteran/kedokteran gigi, seperti yang telah ada untuk LSP telematika. Semoga dengan adanya standarisasi dalam profesi dokter/dokter gigi di Indonesia, tujuan untuk menyelenggarakan praktik kedokteran yang bermutu dengan standar global & melindungi masyarakat dapat tercapai.

Kamis, 11 Juni 2009

Analisis yuridis PerMenKes nomor 512/Menkes/Per/IV/2007

A. Jenis peraturan perundang-undangan.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang disahkan pada tanggal 22 Juni 2004 dan mulai dilaksanakan pada tanggal 1 November 2005 telah memberikan “angin baru dan segar” dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di pusat maupun di daerah, karena dengan kehadirannya telah memberikan landasan yuridis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah, sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai sistem, asas, jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan, persiapan, pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat. Hal ini sangat disadari sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dimaksud, terdapat berbagai macam ketentuan yang berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur secara tumpang tindih baik peraturan dari masa kolonial maupun yang dibuat setelah Indonesia merdeka.
Dengan melihat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan termasuk dalam peraturan dan sudah tepat dikatakan sebagai peraturan karena, kandungan dari Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktek dan Pelasanaan Praktek Kedokteran mengatur izin dan pelaksanaan praktek kedokteran. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktek dan Pelasanaan Praktek Kedokteran yang diatur secara umum dan untuk menyelesaikan hal-hal yang umum.

Hirarki peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan kententuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 hanya mengakui 5 (lima) jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (4) adanya pengakuan terhadap jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud pada ayat (4) yaitu Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Berdasarkan ketentuan ini dapat diperoleh bahwa Peraturan Menteri hanya diakui keberadaan berdasarkan Pasal 7 ayat (4) sepanjang diperintahkan (delegasi).

B. Kesesuaian anatara jenis dan materi muatan
Salah satu asas pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat dalam ketentuan pasal 5 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peratu ran Perundang-undangan yang berbunyi Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
Pada bagian c yaitu kesesuaian antara jenis dan materi muatan yang dimaksud dengan asas "kesesuaian antara jenis dan materi muatan" adalah bahwa dalam Pembentakan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya. Menurut penulis antara jenis dan materi muatan sudah sesuai walaupun materinya kurang lengkap karena belum disebutkan antara lain tentang rekam medik, inform consent dan rahasia kedokteran, karena menurut penulis ketiga hal ini sangat penting dan perlu dicantumkan agar setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktek mengetahuinya. Kalaupun rekam medik, inform consent dan rahasia kedokteran diatur dalam peraturan menteri tetapi dari Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin Praktek dan Pelasanaan Praktek Kedokteran tidak disebutkan.

PENANGANAN KASUS MALPRAKTIK MEDIS

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering proffesional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the proffesion with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”.Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan ( Sampurna, Budi, ).
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia, penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar kompetensinya, dan lain-lain.
Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan medis tersebut sudah improper. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian di atas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalaian dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan dampak buruk .
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sama pada suatu keadaan dan situasi yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya kelalaian yang dilakukan orang per-orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum, kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya berdasarkan sifat profesinya bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. Suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur di bawah ini, yaitu:
a. Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan.
d. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktik medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”.WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktik medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cidera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian medik. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”. Dengan demikian suatu akibat buruk yang unforeseeable dipandang dari ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran saat itu dalam situasi dan fasilitas yang tersedia tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Dengan demikian adverse events dapat terjadi sebagai akibat dari peristiwa tanpa adanya error dan dapat pula disebabkan oleh error. Adverse events akibat errors dianggap dapat dicegah (preventable). Apabila preventable adverse events tersebut telah menimbulkan kerugian, maka ia memenuhi semua unsur kelalaian medis menurut hukum, sehingga disebut sebagai negligent adverse events Suatu adverse events (hasil yang tidak diharapkan) di bidang medik sebenarnya dapat diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu :
a. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri, tidak berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.
b. Hasil dari suatu risiko yang tak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable); atau risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi tidak dapat/tidak mungkin dihindari (unavoidable), karena tindakan yang dilakukan adalah satu-satunya cara terapi. Risiko tersebut harus diinformasikan terlebih dahulu.
c. Hasil dari suatu kelalaian medik.
d. Hasil dari suatu kesengajaan.
Berkaitan dengan risiko tersebut, setiap tindakan medis mengandung risiko buruk, sehingga harus dilakukan tindakan pencegahan ataupun tindakan mereduksi risiko. Namun demikian sebagian besar diantaranya tetap dapat dilakukan oleh karena risiko tersebut dapat diterima (acceptable) sesuai dengan “state-of-the-art” ilmu dan teknologi kedokteran. Risiko yang dapat diterima adalah risiko-risiko sebagai berikut (Biben, Achmad, 2004 ).
a. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain.
b. Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.
Ungkapan malpraktik medis secara langsung pada kasus klinis dengan outcome yang tidak diinginkan adalah tidak tepat atau tidak adil (tidak fair). Istilah yang sebenarnya netral sebelum ada pembuktian adalah adverse clinical incident, adverse event, atau medical accident, yang umumnya digunakan dalam perpustakaan Inggris (dalam kepustakaan Amerika lebih sering digunakan kata-kata medical error sejak dini, yang juga tidak netral). Adverse clinical incident atau medical accident menggambarkan peristiwa atau kejadian klinis yang cocok atau yang berlawanan dengan harapan, tanpa menetapkan dulu apa penyebab kejadian yang tidak diinginkan itu dan siapa yang bersalah. Ini sesuai dengan asas hukum praduga tak bersalah, sampai kesalahan benar-benar terbukti.
Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Nugroho Kampono, Ketua Komite Medis RSCM untuk mengurangi adverse events dan kelalaian medik dapat dilakukan dengan manajemen risiko klinis. Manajemen risiko klinis adalah suatu proses yang secara sistimatik mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengarahkan kejadian yang berpotensi atau yang telah terjadi suatu risiko melalui suatu penataan program yang dapat mencegah, mengendalikan dan meminimalkan kemungkinan risiko. Manajemen risiko klinis diperlukan untuk :
(a) Mengurangi kejadian yang merugikan dan ketidakpuasan dari pasien dan keluarga.
(b) Mencegah pengelolaan yang buruk dari dokter dan dokter gigi, pemborosan waktu dan uang.(c) Pencegahan terhadap tuntutan masyarakat dan pertanggungjawaban kelalaian medik.
(d) Mencegah publikasi buruk.
(e) Membuat dokter dan dokter gigi waspada terhadap akibat tindakannya.
(f) Meningkatkan moral dan percaya diri dokter dan dokter gigi dengan membuat RS sadar keamanan.
(g) Menganalisa derajat risiko.
(h) Membuat keputusan lebih eksplisit dan berdasarkan norma kebenaran.
Kriteria yang dipergunakan untuk identifikasi risiko dilakukan melalui rekam medis pasien rawat inap dan pasien instalasi gawat darurat . Contoh masalah medis yang dibahas:
(a) Gagal melakukan monitoring atau tindakan.
(b) Terlambat menegakkan diagnosis.
(c) Salah menilai risiko .
(d) Kehilangan / kekurangan informasi pada saat pemindahan/peralihan ke staf medik lain.
(e) Gagal mencatat peralatan yang rusak.
(f) Lupa membawa checklist data-data preoperative.
(g) Perubahan dari protokol yang telah disepakati.
(h) Gagal memberi bantuan bila diperlukan.
(i) Mempergunakan protokol yang salah.
(j) Pengobatan diberikan pada sisi tubuh yang salah.
(k) Pemberian pengobatan yang salah.
Dalam Undang Undang Nomor 29 Nomor 29 Tahun 2004 tidak diatur secara tegas mengenai malpraktik medis. Memang pada UU tentang Praktik Kedokteran konsep DPR yang diusulkan, ada bab dan pasal-pasal yang mengatur pembentukan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis yang meliputi penyelenggaraan Peradilan Disiplin Profesi Tenaga Medis, Susunan Pengadilan, Kekuasaan Pengadilan Disiplin Profesi Tenaga Medis dan Pengadilan Tinggi Disiplin Profesi Tenaga Medis, Hukum Acara, dan Pemeriksaan Peninjauan Kembali, dimana peradilan ini merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi masyarakat pencari keadilan terhadap sengketa akibat tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam praktik kedokteran. Namun dalam pembahasan antara DPR dan Pemerintah pasal peradilan ini disepakati ditiadakan karena pertimbangan antara lain sumberdaya manusia yaitu dokter dan dokter gigi sebagai hakim profesi meskipun dalam UU tentang Kehakiman dimungkinkan pembentukannya. Dengan demikian maka jika terjadi kelalaian yang menimbulkan luka atau mati pada pasien, maka akan tetap diadili sesuai ketentuan hukum pidana di pengadilan negeri dan gugatan sesuai dengan hukum perdata untuk tuntutan ganti rugi. Dalam UU tentang Praktik Kedokteran memang tidak dibentuk peradilan profesi, tetapi dengan UU tersebut dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia dalam menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Sedangkan MKDKI tidak dapat menetapkan semacam “uang tali kasih” seperti hal nya Medische Tucht Raad di Belanda sehingga pasien tidak perlu menggugat secara perdata ke Pengadilan. Ini yang dinilai masyarakat sebagai kritikan bahwa UU tentang Praktik Kedokteran tidak mengatur malpraktik karena tidak ada satu katapun ada istilah malpraktik didalamnya, tetapi sebenarnya pengaturan ini ada jika dicermati dari pengertian malpraktik dan pencegahannya.
Pengaturan kelalaian yang menyebabkan luka atau kematian memang tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dalam hal permintaan ganti rugi, tetapi pengaturan untuk mencegah terjadinya kelalaian, penetapan kewajiban dan standar-standar telah diatur dalam UU ini sehingga diharapkan dapat terlaksana sesuai tujuannya. Pengaturan dimaksud meliputi surat tanda registrasi, surat izin praktik, pelaksanaan praktik, standar pendidikan, hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, standar kompetensi, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi (informed consent), rekam medis, rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya.Ketentuan pengaturan jika terjadi dugaan kelalaian medis dokter dituntut secara pidana dan atau perdata dapat membuat stress kalangan profesi medis yang disamakan dengan pesakitan pada ummunya. Hal ini sebenanya juga akan berdampak kepada masyarakat dengan penerapan “defensive medicine” dan kemungkinan pemeriksaan penunjang yang berlebihan. Sebagai perbandingan di New Zealand untuk setiap orang yang terluka /mati termasuk karena adanya kelalaian medis ganti rugi akan diberikan oleh The Accident Compensation Corporation (ACC) jadi tidak perlu melalui jalur pengadilan. Sedangkan dokter/dokter gigi akan dibawa ke pengadilan jika benar-benar melakukan tindak pidana misal mencuri uang pasien atau melakukan perbuatan asusila kepada pasien. Jika terjadi dugaan kelalaian dokter/dokter gigi akan dibawa terlebih dahulu ke Medical Council dimana di dalamnya terdapat Professional Conduct Committees atau diajukan kepada Health & Disability Commissioner yang melindungi hak-hak konsumen termasuk pasien. Jika tidak dapat diselesaikan maka akan diajukan ke NZ Health Practitioners Disciplinary Tribunal dimana sanksinya pencabutan sementara/tetap registrasinya Jadi tidak langsung ke Pengadilan sebagaimana di Indonesia pasien dapat langsung ke Pengadilan tanpa perlu melalui MKDKI terlebih dahulu., bahkan dokter/dokter gigi dapat digugat ke Pengadilan sekaligus ke MKDKI.
Berkaitan dengan malpraktik ketentuan pidana baik berupa tindak kesengajaan (professional misconducts) ataupun akibat culpa (kelalaian/ kealpaan) sebagai berikut :
a. Menyebabkan mati atau luka karena kelalaian ( Pasal 359 KUHP, Pasal 360 KUHP, Pasal 361 KUHP );
b. Penganiayaan ( Pasal 351 KUHP ), untuk tindakan medis tanpa persetujuan dari pasien ( informed consent );
c. Aborsi ( Pasal 341 KUHP, Pasal 342 KUHP, Pasal 346 KUHP, Pasal 347 KUHP, Pasal 348 KUHP , Pasal 349 KUHP );
d. Euthanasia ( Pasal 344 KUHP, , Pasal 345 KUHP);
e. Keterangan palsu (Pasal 267-268 KUHP).
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan melakukan kesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana, malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa lata dari dokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360, KUHP.
Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Berbagai kasus malpraktik medis yang diajukan gugatan secara perdata didasarkan pada ketentuan perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad, tort) yang diatur dalam pasal 1365, pasal 1366, pasal 1367 KUH Perdata. Berkaitan dengan ganti rugi ini juga diatur dalam pasal 55 UU Kesehatan sebagai berikut :
(1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti-buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan yang dilakukan sudah demikian jelasnya ( res ipsa loquitur, the thing speaks for itself ) sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan pada dokternya. Namun demikian ada pula masyarakat yang melakukan penyelesaian melalui jalan lain yang dianggap lebih cepat yaitu melalui mediasi yang dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan yang bergerak di bidang kesehatan. Masalahnya disini jika dokter/dokter gigi tidak “deal” membayar ganti rugi maka kasus itu akan dipublikasikan dan dibawa ke pengadilan, sehingga dokter/dokter gigi yang belum tentu melakukan kelalaian, yang tidak ingin namanya tercemar dan digugat ke Pengadilan memilih “deal” dalam mediasi tersebut.

REKAM MEDIS SEBAGAI ALAT BUKTI

Dalam hukum pidana, kesalahan / kelalaian seseorang diukur dengan apakah pelaku tindak pidana itu mampu bertanggung jawab, yaitu bila tindakannya itu ditentukan oleh 3 ( tiga ) faktor. (Koeswadji, 1998 ).Yaitu :1. keadaan batin pelaku tindak pidana tersebut; 2. adanya hubungan batin antara pelaku tindak pidana tersebut dengan perbuatan yang dilakukannya, yang dapat berupa : a. kesengajaan ( dolus );atau b. kealpaan/kelalaian ( culpa ) ; dan 3. tidak adanya alasan pemaaf.
Apabila hal tersebut dikaitkan dengan pembuktian tentang ada tidaknya ke-3 ( tiga ) faktor tersebut pada pelaku tindak pidana, maka pelaku tindak pidana baru dapat dijatuhi pidana bila perbuatannya itu dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti menurut undang-undang, yaitu yang disebutkan oleh pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP , Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 ). Alat bukti yang sah menurut undang-undang diatur dalam Pasal 184 terdiri dari , (1) keterangan saksi; (2) keterangan ahli; (3) surat ; (4) petunjuk; dan (5) keterangan terdakwa.
Indonesia menganut asas pembuktian negatif dalam hukum pidana, yang berarti bahwa seseorang tidak cukup untuk dinyatakan sebagai terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan ala t-alat bukti yang sah menurut undang - undang secara kumulatif, melainkan juga harus disertai dengan keyakinan hakim. Dalam kasus dimana dokter atau dokter gigi merupakan salah satu pihak ( kasus kesalahan/kelalaian dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan profesi ), salah satu kendala yang dihadapi dalam proses pembktian ialah keterangan ahli yang diatur dalam pasal 186 KUHAP. Keterangan ahli yang dimaksudkan disini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam satu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan/pekerjaan tersebut. Apabila hal tersebut tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik/penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan sidang mengenai kebenaran keterangannya sebagai saksi ahli. Sumpah atau janji yang diberikan sebagai saksi ahli harus dibedakan dengan sumpah /janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan/ pekerjaan ( sumpah jabatan ). Keterangan ahli yang dimaksudkan oleh pasal 186 KUHAP tersebut bila dikaitkan dengan hubungan antara dokter atau dokter gigi dan pasien dapat dituangkan dalam bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis . Keterangan ahli yang berwujud tertulis dapat berupa Rekam Medis( RM) yang dari segi formal merupakan himpunan catatan mengenai hal –hal yang berkait dengan riwayat perjalanan penyakit dan pengobatan/perawatan pasien. Sedangkan dari segi material, isi rekam medis meliputi identitas pasien, catatan tentang penyakit, hasil pemeriksaan laboratorik, foto rontgen, dan pemeriksaan USG. Hal ini secara jelas diatur dalam Permenkes RI Nomor 269 /2008 tentang Rekam Medis.
Fungsi legal dari rekam medis ialah karena rekam medis dapat berfungsi sebagai alat bukti bila terjadi silih pendapat / tuntutan dari pasien dan dilain pihak sebagai perlindungan hukum bagi dokter. Yang penting ialah bahwa rekam medis yang merupakan catatan mengenai dilakukannya tindakan medis tertentu itu secara implisit juga mengandung Persetujuan Tindakan Medik, karena tindakan medis tertentu itu tidak akan dilakukan bila tidak ada persetujuan dari pasien. Apabila rekam medis yang mempunyai multifungsi tersebut dikaitkan dengan pasal 184 KUHAP, maka rekam medis selain berfungsi sebagai alat bukti surat juga berfungsi sebagai alat bukti keterangan ahli yang dituangkan dan merupakan isi rekam medis. Permasalahannya ialah bahwa isi rekam medis adalah milik pasien dan dokter wajib menjaga kerahasiaannya. Isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada Pasal ayat (2) dan (3) Permenkes Nomor 269 /2008 adalah dalam bentuk ringkasan rekam medis. Ringkasan rekam medis tersebut dapat diberikan, dicatat, atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atau atas persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu. Dalam keadaan tidak untuk kepentingan pengadilan maka ringkasan rekam medis tersebut yang diberikan. Pemaparan isi rekam medis dapat dilakukan apabila rekam medis diperlukan sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakkan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi. Sesuai ketentuan pasal 10 Permenkes Nomor 269 /2008, informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal antara lain untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan.
Penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat menjelaskan isi rekam medis secara tertulis atau langsung kepada pemohon tanpa izin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam hal demikian , memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan, dokter , dokter gigi yang bertanggungjawab atas perawatan pasien atau pimpinan rumah sakit dapat memberikan fotokopi rekam medis disamping kesimpulan (yang merupakan pendapatnya). Mengenai fotocopy ini memang tidak ditegaskan dalam Permenkes Nomor 269/2008. Ini merupakan pendapat pakar hukum karena rekam medis berfungsi sebagai alat bukti surat maupun alat bukti keterangan ahli. Ini berarti bahwa hakim dapat menggunakan rekam medis tersebut sebagai alat bukti di sidang pengadilan, namun hal tersebut tidak mengikat sifatnya, dan masih tergantung pada penilaian hakim. Karena itu dalam asas hukum pidana Indonesia berlaku asas pembuktian negatif. Hal ini berarti bahwa rekam medis dapat digunakan sebagai dasar untuk membuktikan ada tidaknya kesalahan/kelalaian dokter/dokter gigi dalam melaksanakan profesi, dan di segi lain rekam medis dapat digunakan sebagai dasar pembelaan/perlindungan hukum bagi dokter/dokter gigi terhadap gugatan/tuntutan yang ditujukan kepadanya. Penggunaan rekam medis sebagai alat bukti di persidangan pengadilan dengan demikian hanya dimungkinkan apabila para pihak yaitu dokter atau dokter gigi pasien dan penuntut umum mengajukan rekam medis sebagai alat bukti untuk menemukan kebenaran material /kebenaran yang sejati, dan memperjelas ada tidaknya kesalahan/kelalaian dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan profesinya.
Dengan demikian rekam medis merupakan alat bukti bahwa dokter atau dokter gigi telah mengupayakan semaksimal mungkin melalui tahapan proses upaya pelayanan kesehatan sampai kepada satu pilihan terapi yang paling tepat yang berupa tindakan medis tertentu. Bagi pasien, rekam medis merupakan alat bukti yang dapat digunakan sebagai dasar apakah tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadapnya itu sudah sesuai dengan standar profesi. Oleh karena itu semakin lengkap rekam medis semakin kuat fungsinya sebagai alat bukti yang memberikan perlindungan hukum bagi dokter atau dokter gigi.
Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa rekam medis mempunyai fungsi ganda sebagi alat bukti, yaitu : 1. Sebagai alat bukti keterangan ahli ( Pasal 186 dan 187 KUHAP ). 2. Sebagai alat bukti surat ( Pasal 187 KUHAP ) Rekam medis adalah suatu kekuatan untuk dokter atau dokter gigi dan rumah sakit untuk membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang maksimal untuk menyembuhkan pasien sesuai dengan standar profesi kedokteran. ( Ameln, 1993).

RAHASIA KEDOKTERAN

RAHASIA KEDOKTERAN

Rahasia kedokteran diatur dalam beberapa peraturan/ketetapan yaitu:1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 dan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1963 untuk dokter gigi yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan termasuk mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaaan, pengobatan, dan/atau perawatan diwajibkan menyimpan rahasia kedokteran. Versi lafal sumpah dokter ini juga diintroduksikan oleh World Medical Association yang berbunyi : ”I will respect the secrets which are confided in me, even after the patient has died” Pada tahun 1968 di Sydney dirumuskan Internasional Code of Medical Ethics : ” A doctor shall preserve absolute secrecy on all he knows about his patient because the confidence entrusted in him”. Sedangkan pada tahun 1981 Declaration of Lisbon merumuskan : ” The patient has the right to expect that his physician will respect the confidential nature of all his medical and personal details”
2. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter juga disebutkan dalam lafal sumpahnya bahwa “dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaaan dan karena keilmuannya sebagai dokter”.
3. Pasal 22 ayat (1) b Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan diatur bahwa bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien. 4. Kode Etik Kedokteran dalam pasal 12 menetapkan: “setiap dokter wajib merahasiakan sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”.
Sesuai dengan ketentuan pasal 48 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ditetapkan sebagai berikut:
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Dan pasal 51 huruf c Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 adanya kewajiban merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran tersebut diatur dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 Tentang Rekam Medis sebagai berikut: Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal :
a. untuk kepentingan kesehatan pasien;
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan;
c. permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri;
d. permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
e. untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien.
Mengenai rahasia kedokteran dikenal adanya trilogi rahasia kedokteran yang meliputi persetujuan tindakan kedokteran, rekam medis dan rahasia kedokteran karena keterkaitan satu sama lain. Jika menyangkut pengungkapan rahasia kedokteran maka harus ada izin pasien (consent) dan bahan rahasia kedokteran terdapat dalam berkas rekam medis.

Hak Akses
Hak akses pasien terhadap rahasia kedokteran didasarkan pada:
a. Data-data medik yang tercantum dalam berkas rekam medis . Rekam medis adalah data-data pribadi pasien yang merupakan tindak lanjut dari pengungkapan penyakit yang di derita oleh pasien kepada dokternya. Maka iapun berhak untuk memperoleh informasi untuk mengetahui apa saja yang dilakukan terhadap dirinya dalam rangka penyembuhannya. Hal ini sudah dijabarkan dalam Permenkes Nomor 290 Tahun 2008 tersebut pengaturan tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dalam melakukan tindakan kedokteran dokter harus memberikan penjelasan sekurang-kurangnya mencakup:
1) Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
2) Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
3) Altematif tindakan lain, dan risikonya;
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
6) Perkiraan pembiayaan.
b. Hubungan hukum antara dokter- pasien untuk berdaya upaya menyembuhkan pasien ( inspanning verbintenis ). Hak akses terhadap rahasia kedokteran bisa disimpulkan sebagai kelanjutan dari hak atas informasi. Atau berdasarkan itikad baik dari pihak dokternya untuk memberikan akses terhadap rekam mediknya yang di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diberikan dalam bentuk ringkasan rekam medis.
c. Hak akses terhadap rekam medis adalah sebagai kelanjutan dari kewajiban dokter untuk memberikan informasi kepada pasien.
Menurut Markenstein maka kepentingan pasien untuk melihat data-data rekam medis adalah :
a. kepentingan yang terletak di bidang finansial dalam arti untuk dapat menilai apakah ia boleh memperoleh pembayaran kembali ataupun ganti kerugian;b. kepentingan proses peradilan yang menurut rasa keadilan kedua pihak yang berperkara seharusnya mempunyai hak akses yang sama terhadap informasi yang relevan untuk diajukan pada proses peradilan;
c. kepetingan pengobatan yang diperlukan untuk meneruskan pengobatannya pada pemberi pelayanan lain atas dasar data-data yang ada;d. kepentingan yang bersangkutan dalam pengamanan yang menyangkut data pribadinya (privacy).

Hak Atas Privacy
Hak privacy ini bersifat umum dan berlaku untuk setiap orang. Inti dari hak ini adalah suatu hak atau kewenangan untuk tidak diganggu. Setiap orang berhak untuk tidak dicampuri urusan pribadinya oleh lain orang tanpa persetujuannya. Hak atas privacy disini berkaitan dengan hubungan terapeutik antara dokter-pasien ( fiduciary relationship ). Hubungan ini di dasarkan atas kepercayaan bahwa dokter itu akan berupaya semaksimal mungkin untuk memberikan pelayanan pengobatan. Pula kepercayaan bahwa penyakit yang di derita tidak akan diungkapkan lebih lanjut kepada orang lain tanpa persetujuannya. Dalam pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III /2008 diatur bahwa penjelasan tentang isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien dengan izin tertulis pasien atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hak Tolak Ungkap
Hak tolak ungkap adalah tejemahan terhadap istilah bahasa Belanda ”verschoningsrecht” yang diatur dalam berbagai peraturan yang menyangkut kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Artinya bagi si pemegang rahasia (orang yang dipercayakan suatu rahasia) diwajibkan untuk menyimpan dan tidak sembarangan mengungkapkan rahasia tersebut kepada orang lain tanpa izin pemilik. Ketentuan pidana yang berkaitan dengan pengungkapan rahasia kedokteran selain diatur dalam pasal 79 Undang Udang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana sebagai berikut:
a. Pasal 224 KUHP Barang siapa dipanggil sebagai saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-undang denagn sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang undang selaku demikian harus dipenuhinya ancaman:
(1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan;
(2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.
b. Pasal 322 KUHP Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah.
Menurut perumusan pasal 224 KUHP sesorang yang dipanggil oleh Pengadilan sebagai saksi ahli harus datang memenuhi panggilan menghadap untuk memberikan keterangan tentang sesuatu yang terletak di bidang keahliannya. Ini adalah kewajiban hukum bagi setiap orang termasuk juga profesi kedokteran.
Disamping itu KUHP pasal 322 memberi ancaman hukuman terhadap mereka yang dengan sengaja membocorkan rahasia yang seharusnya tidak diungkapkan kepada orang lain. Jika ia membocorkan rahasia itu maka orang yang dirugikan dapat mengadakan tuntutan atas dasar pasal 322 ini. Jika dilihat dari sudut rahasia kedokteran maka sekilas tampaknya seolah-olah ada dua peraturan yang bertentangan dalam ketentuan tersebut. Dalam hal ini jika terdapat suatu kasus dan dokter berpendapat bahwa demi kebaikan pasien rahasia kedokteran sebaiknya tidak diungkapkan maka dokter tersebut mempergunakan hak tolak ungkap yang diberikan berdasarkan ketentuan : pasal 1909 KUH Perdata,pasal 322 KUHP, pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, dan kode etik, lafal sumpah dokter. Nantinya diserahkan kepada hakim untuk mempertimbangkan apakah dokter tersebut harus atau tidak mengungkapkan rahasia kedokteran, hal ini didasarkan pasal 170 ayat (2) KUHAP , jika hakim berpendapat bahwa dokter itu harus mengungkapkan maka dapat dianggap bahwa dokter itu dibebaskan dari kewajiban menyimpan rahasia kedokteran oleh Pengadilan. Ini juga sejalan dengan ketentuan dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dan Permenkes tentang Rekam Medis.
Sementara itu menurut Prof Eck mengemukakan justifikasi pengungkapan rahasia kedokteran dapat didasarkan kerena:
a. Izin dari yang berhak ( pasien);
b. Keadaan mendesak atau terpaksa.
c. Peraturan Perundang-undangan;
d. Perintah jabatan yang sah.
Alasan penghapus pidana: pasal 48, 50,52 KUHP. Berkaitan dengan rahasia kedokteran ini memang tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga sarat dengan masalah etik, bagaimana jika suami datang ke praktik dokter diantar oleh isterinya sedang ternyata suami tersebut mengidap penyakit menular seksual, rahasia ini jika diungkapkan di depan isterinya dampaknya mungkin akan menimbulkan perpecahan rumah tangga. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak untuk mengungkapkan, karena mereka datang berdua. ( Leenen, 177) . Namun dalam hal ini sebaiknya dokter membicarakan terlebih dahulu dengan pasiennya ( suami ), apakah isterinya boleh mengetahui rahasia kedokteran tersebut. Secara teori sebenarnya dokter dapat tidak menjawab pertanyaan pasien tentang penyakitnya , dalam hal:
a. pada pemberian terapi placebo;
b. jika informasi yang diberikan bahkan akan merugikan atau memperburuk keadaan pasien itu sendiri;
c. apabila pasien belum dewasa;
d. pasien berada di bawah pengampuan . ( Leenen).
Juga persoalan lain misalnya seseorang menderita penyakit menular yang berpotensi wabah, ada pengecualian melalui kewajiban pelaporan penyakit wabah yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan meskipun prinsip privacy pasien tetap harus dijaga. Juga bagaimana jika rahasia kedokteran pasien sudah diungkapkan kepada media massa oleh pasien sendiri sehingga menyudutkan dokternya, seharusnya dokter mempunyai hak jawab karena rahasia kedokteran itu sudah diungkap oleh pasien itu sendiri.

Minggu, 07 Juni 2009

INFORMED CONSENT
DITINJAU DARI
ASPEK ILMU HUKUM PERIKATAN


Kata informed artinya telah diberitahukan atau telah disampaikan atau telah diinformasikan. Kata consent berasal dari bahasa Latin Consentio, yang artinya persetjuan, izin, menyetujui atau pengertian yang lebih luas ialah memberi izin atau wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Informed consent dengan demikian berarti suatu pernyataan setuju atau izin oleh pasien secara sadar, bebas dan rasional setelah memperoleh informasi yang dipahaminya dari dokter tentang penyakitnya.
Informed consent merupakan hak asasi pasien sebagai manusia harus tetap dihormati. Pengertian self determination ini terkenal setelah Hakim Benyamin Cordozo di Amerika Serikat pada tahun 1914 mengeluarkan keputusan dalam suatu sidang pengadilan yang berbunyi:
“Setiap manusia yang dewasa dan berpikiran sehat berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan seorang yang melakukan tanpa seizin pasiennya dapat dianggap kerugian”.
Keputusan ini dikeluarkan sehubungan dengan adanya dokter yang dituntut karena melakukan tindakan operasi tanpa seizin dari melakukan pelanggaran hukum, yang harus ia pertanggungjawabkan segala pasien.
Hubungan antara informed consent dengan perlindungan hak pasien ini dapat dilihat pada pasal-pasal Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 45:
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Dari sudut hukum perdata, dokter yang telah memiliki STR dan SIP dan membuka praktek, pada dasarnya telah melakukan penawaran umum (openbare aanbod). Aanbod adalah syarat pertama lahirnya kesepakatan sebagai penyebab timbulnya suatu perikatan hukum. Menurut hukum, kesepakatan terjadi bila penawaran oleh suatu pihak diterima atau disetujui oleh pihak lain. Oleh karena ada kewajiban dokter dalam pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No. 29 tahun 2004, untuk terjadinya perikatan hukum dokter-pasien, penawaran ini harus diikuti penjelasan yang lengkap tentang berbagai hal yaitu diagnosis, terapi, terapi alternatif, resiko dan prognosis penyakitnya oleh dokter. Apabila kemudian pasien memberikan persetujuannya untuk pengobatan atau perawatannya maka terjadilah perikatan hukum yang dikenal dengan kontrak terapeutik atau transaksi terapeutik. Persetujuan pasien itu disebut informed consent.
Sumber-sumber perikatan menurut Pasal 1233 KUHPerdata adalah Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan , baik karena undang-undang. Sumber perikatan ada 2 :
(1). Perjanjian
(2). Undang-undang.
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst yang berasal dari bahasa Belanda atau contract dari bahasa Inggris. Pada Pasal 1313 KUHPerdata adalah perjanjian adalah suatu perikatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Menurut yang dikemukakan oleh Van Dunne yang diartikan dengan perjanjian adalah “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
Perikatan yang lahir karena Undang-Undang diatur dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1352 sampai pasal 1380. Perikatan yang lahir dari Undang-Undang adalah suatu perikatan yang timbul atau lahir atau adanya karena telah ditentukan dalam Undang-Undang itu sendiri.
Perikatan yang lahir karena Undang-Undang dapat dibedakan menjadi dua macam, sebagai berikut:
Perikatan yang lahir dari Undang-Undang saja.
Menurut pasal 1353 KUHPerdata menyebutkan bahwa “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum”.
Perikatan yang lahir karena perbuatan manusia.
Perbuatan manusia dapat dibedakan menjadi perbuatan yang dibolehkan dan perbuatan yang melanggar hukum.